Rabu, 11 November 2015

Hapuskan UN sebagai penentu kelulusan....!!!
Oleh : Rizki Barokah

Ketika kita mendengar kata “UN” apa yang pertama kali muncul di pikiran kita?? Nah lho, jadi ingat apa hayo? Apakah jadi ingat masa putih abu-abu? Atu Mungkin kita akan melayang membayangkan pengalaman melewati masa-masa kritis penghujung sekolah, setumpuk buku tebal yang menemani setiap malam, dan les tambahan yang cukup merogoh kantong orang tua. Ujian nasional menjadi momok yang menakutkan akhir-akhir ini. Seakan-akan Ujian nasional lah penentu masa depan para siswa. Jika pada saat pengumuman di amplop tertera tulisan “tidak lulus” mungkin bisa membuat siswa depresi hingga menelan korban bunuh diri. Jadi, di lapangan memang terasa sekali nuansa bahwa menghadapi UN itu ibarat menghadapi perang, sampai-sampai banyak spanduk bertebaran atau pun ucapan-ucapan yang ditulis di media sosial yang antara lain dibuat oleh adik-adik kelas berbunyi, “Selamat berjuang kakak-kakak Kelasku yang akan menghadapi UN.

Tidak hanya siswa yang menanggung beban psikologis, orang tua pun ikut menanggung malu di masyarakat jika tahu anaknya tidak lulus Ujian Nasional. Di tambah lagi reputasi sekolah akan di nilai buruk ketika memiliki tingkat ketidaklulusan yang tinggi. Hal ini pun akan memancing para siswa ataupun guru untuk melakukan kecurangan saat ujian nasional. Ujian nasional tak ubahnya seperti monster tangguh yang dilawan dengan konspirasi siswa-guru. Alangkah gawatnya negeri ini, generasi muda dipupuk nilai-nilai korup dan menghancurkan budaya jujur dan sportivitas.


Beberapa fakta yang terjadi di lapangan menunjukan bahwa ujian nasional juga memiliki dampak negatif yaitu terkait dengan pemborosan dana. Betapa besar anggaran yang dikeluarkan oleh pemerintah setiap tahunnya untuk pelaksanaan ujian nasional. Dan ternyata juga tidak dapat meningkatkan kualitas murid, kecuali hanya pada kemampuannya menggarap soal model pilihan ganda saja. Padahal jelas, hal-hal yang lebih bersifat sosial, mental dan spiritual tidaklah dapat dilihat dari kemampuan mengerjakan soal di atas kertas , melainkan pada proses pembelajaran sehari-hari, dari perilaku, pola pikir dan sikap yang diambil dalam interaksi sosial dengan lingkungan sosial siswa. Berikut tabel anggaran UN dari APBN.


Tahun
Jumlah dana UN
Jumlah peserta
2005
-
-
2006
Rp. 224 miliar
5 juta siswa
2007
Rp. 260 miliar
5.448.122 siswa
2008
Rp. 572.9 miliar
10.426.837 siswa
2009
Rp. 438 miliar
10.297.816 siswa
2010
Rp. 524 miliar
9,8 juta siswa
2011
Rp. 580 miliar
10.409.562 siswa
Sumber : Kompilasi berbagai berita media massa

Nah lho, menurut kalian dana tersebut lebih baik digunakan untuk apa hayo?? Kalau menurut saya mungkin akan jauh lebih bermanfaat bila dana tersebut dialokasikan untuk memperbaiki gedung-gedung sekolah yang rusak, membangun gedung-gedung sekolah di pelosok desa yang tertinggal, pengadaan buku pelajaran secara cukup, dan fasilitas belajar lainnya, yang bisa meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.

Sebagai seorang mahasiswa, apakah yang bisa kita lakukan untuk negeri ini? Ketika sebuah kebijakan berbuah masalah dalam hal teori maupun praktiknya maka kebijakan trsebut harus dihapuskan. Namun ketika pemerintah tak kunjung sadar dan tetap ngotot melaksanakan UN, tiada hal lain yang mesti dilakukan kecuali melawan. Apa bentuk perlawanannya? Bentuk perlawanannya tentu harus dengan cara yang cerdas dan intelek, misalnya dengan mengumpulkan data dan fakta sekian banyak masalah yang timbul akibat UN, beban ekonomi sekolah dan siswa, kerugian materiil dan non-materiil akibat UN, melencengnya praktik pembelajaran dari visi pendidikan akibat UN, sampai pada membangun argumen dari kesalahan desain dan konsep UN. Secara umum perlawanan ini memang telah dilakukan dengan menggugat UN di Mahkamah Agung misalnya, tapi ketika sampai sekarang UN masih tetap jalan, maka basis dan strategi perlawanannya mesti diperluas dan berakar di sekolah, tempat para guru dan siswa dirugikan oleh UN.

Bahan bacaan :
·         Darmaningtyas dan Edi Subkhan.2012.Manipulasi Kebijakan Publik.Jakarta:resist book.
·         Blogspot, Arie Lamondjong.2013.Cukup dengan menghapus Ujian Nasional?. Diunduh tanggal 24 Oktober 2014 pukul. 20;00 dari
·         Wordpress, Itje Chodidjah.2014. UN, Petaka Generasi Penerus Bangsa.Diunduh tanggal 25 Oktober 2014 pukul. 03:30  dari
Penulis :
Rizki Barokah, Mahasiswa S1 bidang Kurikulum dan Teknologi Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Semarang. Kontak : 087732633482, kritik dan saran bisa dikirim melaui e-mail : barokahrizki74@yahoo.com atau mapresunnes2018@yahoo.com




SISTEM PENDIDIKAN DI FINLANDIA

       Sistem Pendidikan di Finlandia
     Republik Finlandia adalah sebuah negara Skandinavia yang juga termasuk negara Nordik. Karena terletak di Eropa Utara, Finlandia menjadi angggota dari Uni Eropa. Finlandia memiliki perbatasan darat dengan Swedia, Norwegia, dan Rusia sedangkan batas lautnya adalah Laut Baltik di barat daya, Teluk Finandia di selatan dan Teluk Bothnia di barat. Ibukota negara penghasil telepon genggam Nokia dan negeri kelahiran Angry Birds ini adalah Helsinki. Peduduk sebesar lima juta jiwa mendiami lebih dari 330.000 km² sehingga negara ini terdapat dalam urutan ke-162 dalam kepadatan penduduk di dunia. Finlandia dikenal sebagai salah satu negara dengan pendidikan terbaik di dunia. Ada banyak sekali sumber yang membahas tentang kehebatan sistem pendidikan mereka, namun masih sangat sedikit yang mengkaji pendidikan kejuruan disana. Sistem pendidikan Finlandia adalah sistem yang egaliter, tanpa biaya sekolah dan disediakan makanan gratis di sekolah untuk siswa full-time. Anggaran pendidikan Finlandia pada tahun 2009 adalah Euro 11,1 milyar atau Euro 2100 per kapita (sekitar Rp. 25 juta per kapita per tahun).
     Di Finlandia, pendidikan kejuruan dimulai di level pendidikan menengah. Setelah sembilan tahun sekolah umum yang komprehensif, siswa dapat memilih untuk melanjutkan ke salah satu “lukio” (sekolah menengah atas), suatu lembaga pendidikan yang mempersiapkan siswa untuk masuk pendidikan tinggi, atau bisa pula masuk ke “ammattikoulu” (sekolah menengah kejuruan/vokasional). Kedua bentuk pendidikan menengah ini berdurasi tiga tahun, dan memberikan kualifikasi formal bagi lulusannya. Lulusan pendidikan umum bisa melanjutkan ke universitas umum dan politeknik. Namun lulusan pendidikan kejuruan hanya bisa masuk ke politeknik atau langsung bekerja. Sertifikat kelulusan diperlukan untuk masuk universitas. Pendidikan di sekolah menengah kejuruan adalah gratis, dan mahasiswa dari keluarga berpenghasilan rendah bisa mendapatkan beasiswa dari negara untuk jenjang yag lebih tinggi. Kurikulum ditekankan pada materi kjuruan dan selalu disesuaikan dengan kebutuhan dunia kerja. Sekolah-sekolah kejuruan sebagian besar dikelola oleh pemerintah kota. Dalam bidang-bidang tertentu (misalnya sekolah polisi, pelatihan personil untuk kontrol lalulintas udara).
Pendidikan Menengah
     Pendidikan menengah atas dimulai pada umur 16 atau 17 tahun dan berlangsung selama tiga sampai empat tahun. Pendidikan tingkat ini sudah tidak wajib. Siswa pada tingkat ini dapat memilih untuk menjalani pendidikan dan pelatihan kerja pada sekolah menengah kejuruan untuk mengembangkan kompetensi kejuruan dan untuk mempersiapkan mereka masuk politeknik dan bekerja. Sekolah menengah atas kejuruan akan mendapatkan kualifikasi kejuruan. Penyelesaian kualifikasi kejuruan ini memakan waktu 3 tahun dan lulusannya akan dinyatakan layak untuk melanjutkan ke pendidikan tinggi kejuruan (disebut AMK atau politeknik) atau bekerja. Pendidikan ini dapat dilaksanakan dalam sekolah kejuruan multi-bidang (memiliki banyak jurusan) atau khusus (hanya jurusan tertentu). Dapat juga diselenggarakan dalam bentuk pelatihan magang yang menggabungkan pembelajaran di tempat kerja dan studi teoritis di lembaga pendidikan kejuruan. Kualifikasi kejuruan ini juga dapat diambil sebagai kualifikasi berbasis kompetensi, dimana ketrampilan kejuruan dan persyaratan pengetahuannya sama tetapi independen dari pendidikan formal dan pelatihan. Pendidikan dan pelatihan kejuruan diatur oleh Undang-Undang Pendidikan Kejuruan (630/1998) dan Surat Keputusan (811/1998).
    
Permasalahan Pendidikan

     Pendidikan merupakan salah satu pilar kehidupan bangsa. Masa depan suatu bangsa bisa diketahui melalui sejauh mana komitmen masyarakat, bangsa atau pun negara dalam menyelenggarakan Pendidikan Nasional.
Pendidikan dalam konteks upaya memperbaiki suatu peradaban merupakan salah satu kebutuhan (jasa) yang dibutuhkan oleh setiap manusia dan kewajiban yang harus diemban oleh negara agar dapat membentuk masyarakat yang memiliki pemahaman dan kemampuan untuk menjalankan fungsi-fungsi kehidupan yang selaras dengan fitrahnya serta mampu mengembangkan kehidupannya menjadi lebih baik dari setiap masa ke masa.
  Amanat konstitusi  Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dinyatakan dalam UUD 1945 dengan tegas dan jelas memposisikan pendidikan nasional pada posisi strategis sebagai instrumen perjuangan bangsa yang tidak hanya berfungsi mencerdaskan kehidupan bangsa tapi membangun bangsa, peradaban bangsa, nilai-nilai moral dan semangat perjuanganan bangsa untuk mempertahankan eksistensi bangsa dan negara. Salah satu amanat UUD 1945 kemudian diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional yang memiliki visi terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu menjawab tantangan zaman yang selalu berubah-ubah.
Sejalan dengan perkembangan zaman, maka timbul permasalahan-permasalahan pendidikan yang kompleks.  Memasuki abad ke-21 dunia pendidikan di Indonesia menjadi heboh. Kehebohan tersebut bukan disebabkan oleh kehebatan mutu pendidikan nasional tetapi lebih banyak disebabkan karena kesadaran akan bahaya keterbelakangan pendidikan di Indonesia. Berbagai persoalan pendidikan muncul dan berkembang seperti rendahnya kualitas pendidikan secara umum, masalah anggaran pendidikan, tidak meratanya kesempatan pendidikan, dan mahalnya biaya pendidikan.
Lebih khusus lagi, problematika juga  terjadi pada profesi keguruan yang merupakan ujung tombak dunia pendidikan. Beberapa permasalahan tersebut antara lain rendahnya kualitas guru, tidak profesional dalam melaksanakzan tugas keguruan , kurangnya penghargaan masyarakat terhadap profesi guru,  tingkat kesejahteraan guru yang relatif masih rendah dan distribusi pemerataan penempatan  guru yang kurang seimbang.